Aksi Aneh Cipto Mangunkusomo

Stovia (Sekolah Dokter Jawa). Foto: kemdikbud.go.id

Tahun 1899, kegembiraan datang menghampiri keluarga Mangunkusumo. Putra mereka, Cipto Mangunkusumo, dinyatakan lolos masuk ke Stovia (Sekolah Dokter Jawa) di Batavia. Sebagai anak dari kalangan rakyat biasa, terdaftar di sekolah bangsawan merupakan sebuah kebanggan. 

Di Stovia, Cipto termasuk golongan siswa terbaik. Dia memiliki ketajaman berpikir, keterampilan, serta pembawaan diri yang baik. Berkat kecintaannya kepada buku, Cipto memiliki wawasan yang luas dan senang berdebat. Para guru pun mengakuinya. Namun dia juga dikenal sebagai seorang yang suka kebebasan dan benci dikekang. Berkat sifatnya itu Cipto pernah meringkuk di ruang tahanan siswa –para siswa menyebutnya “kamar tikus”. 

Ilustrasi Cipto Mangunkusumo.
Foto: Betaria Sarulina/Historia

Diceritakan Soegeng Reksodihardjo dalam bukunya yang berjudul Dr. Cipto Mangunkusumo, kejadian itu terjadi karena Cipto terlibat bentrokan dengan penjaga di Stovia, yakni Papa Jeane.

“Dia lebih suka membaca di kamarnya atau menghadiri ceramah-ceramah. Sebagai anak yang baru belasan tahun usianya, pustaka sudah menduduki tempat penting dalam jiwanya,” tulis Soegeng.

Baca juga: Aura Misterius Dibalik Eksotisme Rumah Tjong A Fie

Sifat progresif Cipto itu rupanya terbawa juga setelah dia lulus dari Stovia. Saat ikut program penempatan, dia banyak terlibat bentrok dengan pejabat-pejabat Belanda. Kritikan-kritikannya pun semakin keras disuarakan. Terkadang bahkan kritikan Cipto itu dieskpresikan dalam tindakan-tindakan yang aneh.

Ketika tengah berpraktek di Demak, Cipto terlibat perselisihan dengan kalangan bangsawan. Dia dengan santai mengendarai keretanya melewati alun-alun di muka kantor kebupatian. Tindakan itu menimbulkan kegaduhan di kalangan konservatif yang masih mempertahankan tradisi kolot kebangsawanan. 

Cipto memancing kemarahan orang-orang itu. Bagi mereka, perbuatan Cipto itu bentuk penghinaan dan merupakan sikap kurang ajar kepada bangsawan, maupun orang Eropa. Cipto pun harus berselisih dengan Pangeran Hadiningrat.

“… dan tindakan-tindakan yang aneh-aneh itu cukup membuat pihak penjajah memutar otak bagimana cara menjinakkan orang yang keras, bandel, dan sedikit pun tidak kenal takut akan pemerintah jajahan itu,” tulis Soegeng.


Kejadian lain, pernah suatu hari Cipto pergi ke sebuah sociteit yang penuh dengan orang-orang Belanda. Dengan santainya dia duduk di kursi. Kakinya pun dijulurkan. Karuan saja seluruh gedung menjadi ribut. Orang-orang Eropa itu merasa kecolongan dengan masuknya seorang inlander yang  bersikap kurang ajar. Segera seorang penjaga diperintah mengusir Cipto dari sociteit. Seketika dia berdiri dan dengan lantang memaki para penjaga serta orang-orang di sekitarnya dengan bahasa Belanda yang fasih. 

Stasiun kereta di Batavia. Foto: liputan6.com

Cara Cipto melayangkan kritik memang seringkali dirasa aneh. Pada kesempatan lain, Cipto sengaja datang ke stasiun sesaat sebelum kereta khusus orang-orang kulit putih datang. Kemudian menjelang keberangkatan dia pergi membeli tiket. Namun bukan untuk dia gunakan. Tiket itu diberikan kepada seorang dengan pakaian compang-camping. Disuruhnya orang itu cepat-cepat naik begitu kereta berjalan. Jelas saja kejadian itu membuat gaduh noni-noni dan tuan-tuan Eropa di dalam kereta. Aksi Cipto menemani perjalanan hari itu.

“Setelah terjun dalam masyarakat, sering kali Cipto disakiti hatinya, tetapi sakit hatinya terutama karena di mana-mana dia melihat adanya ketidakadilan, ketidakbebasan, kehidupan masyarakat feodal dan kolonial yang tidak wajar, serta penghinaan terhadap rakyat,” ungkap Soegeng.

Baca juga: Daoed Joesoef dan Borobudur

Cipto terus bergerak melancarkan kritik-kritiknya. Pada 1908 dia bergabung dalam Boedi Oetomo. Di sana Cipto semakin aktif menentang praktek feodal. Dia juga mendirikan Indische Partij pada 1912 bersama Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara. Maka demi memastikan Cipto menghentikan kritikan yang bisa memancing pemberontakan rakyat, pemerintah Belanda menunjuknya masuk ke dalam Volksraad (Dewan Rakyat) pada 1918. Lembaga legislatif itu diharap mampu meredam aksi-aksi radikal Cipto. Namun anggapan mereka keliru. Dewan Rakyat itu malah menjadi lapangan lain bagi Cipto melancarkan kritiknya.


Penulis: M. Fazil Pamungkas | historia.id