Jejak Peradaban di Sungai Batanghari

Sungai Batanghari

Sungai Batanghari memiliki panjang aliran sejauh 800 km. Sungai terpanjang di Provinsi Jambi ini alirannya menembus dari Gunung Rasan, Sumatera Barat, dan bermuara di pantai timur Sumatera ke Laut Cina Selatan.

Di sepanjang alirannya, jejak peradaban masa lalu banyak ditemukan, seperti Koto Kandis, Muarajambi, Padang Roco, Pulau Sawah, dan Solok Sipin. Beberapa di antaranya bahkan dipilih oleh penguasa Melayu menjadi pusat pemerintahan.


Junus Satrio Atmodjo, arkeolog dan anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Nasional, menjelaskan kehidupan di kawasan Sungai Batanghari sudah sangat tua. Bahkan pengaruh pre-histori bisa didapatkan sampai ke Kerinci. Ditemukan pula pengaruh dari Tiongkok juga yang terlihar dari keramik-keramik dari masa Dinasti Han, sekitar abad ke-3

Baca juga: Daoed Joesoef dan Borobudur

Dengan ditemukannya jejak itu, kata Junus, hubungan dunia luar dengan masyarakat di pedalaman Jambi sudah ada pada abad ke-3. Sungai Batanghari adalah jalannya.

Pada abad ke-7, seorang biksu asal Tiongkok pun sudah berlayar sampai ke negeri bernama Mo-lo-yeu. Lokasi yang ia datangi banyak dihubungkan dengan wilayah Situs Muarajambi, di Muaro Jambi, Jambi sekarang.

“Ia menyusuri pantai timur Sumatra, berhenti di suatu tempat, naik perahu yang lebih kecil. Artinya, ia menyusuri sungai ke pedalaman,” jelas Junus.

Di sana ditemukan banyak keramik asing, mulai dari masa Dinasti Tang abad ke-8 hingga ke-9. Sementara keramik asing terbanyak adalah dari masa Dinasti Sung, abad ke-11 hingga ke-13.

Jambi ketika itu telah menjadi salah satu pelabuhan yang ramai dikunjungi kapal asing. Beberapa produk Jambi misalnya emas, damar, dan pinang menarik minat banyak pedagang. Produk ini merupakan komoditas ekspor yang dikumpulkan dari wilayah pedalaman.

Baca juga: Sensasi Pahitnya Kopi Dalam Sejarah Dunia

Sungai Batanghari berperan sebagai jalan utama jaringan pengepul kecil di wilayah hulu. Diantaranya Kerinci sebagai penghasil beras, emas, dan hasil hutan. Kemudian lokasi yang kini disebut Situs Candi Padang Roco, di Jorong Sei Langsek, Kenagarian Siguntur, Kecamatan Sitiung, Sumatra Barat.

Lokasi lainnya adalah Situs Percandian Pulau Sawah. Kawasannya masih termasuk ke dalam Kabupaten Dharmasraya. Wilayah ini ramai pada abad ke-12 hingga ke-14. Di sana ada lebih dari 11 struktur bangunan bata, arca, dan keramik.

Candi Astano yang berada di dalam gugusan Percandian Muarajambi dan Sungai Batanghari di dekatnya.
Foto: Robby Kurniawan/Shutterstuck

Wilayah Dharmasraya adalah penghasil emas dan hasil hutan. Konon, emas dari daerah pedalaman kemudian dipasarkan keluar Melayu melalui sungai-sungai ini.

Pada era ini, Kerajaan Melayu mencapai puncaknya. Logam emas dimanfaatkan semaksimal mungkin. Sumber emas ini dikelola oleh penguasa Melayu dan dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan kerajaan.

Dengan melihat hasil temuan itu, arkeolog senior Bambang Budi Utomo dalam “Ranah Minang dan Kerajaan Melayu”, Menguak Tabir Dharmasraya pun berpendapat, Kerajaan Melayu yang lokasi geografisnya di daerah lembah Batanghari, paling tidak tiga kali berpindah ibu kota. Awalnya di wilayah hilir Sungai Batanghari, yaitu di mana Jambi kini berada, lalu bergeser ke arah hulu, di wilayah Provinsi Sumatra Barat.

“Pemindahan (ibu kota, red.) yang kedua mungkin berlangsung sebelum 1286 (berdasarkan Prasasti Dharmasraya, red.),” jelasnya.

Baca juga: Jejak-jejak Tsunami Kuno di Dalam Gua Kapur

Adapun pusat yang ketiga berada di daerah pedalaman di Barusangkar dan Pagaruyung, Tanah Datar, Sumatra Barat. Berdasarkan temuan Prasasti Pagaruyung III dan Saruaso I, diperkirakan Adityawarman masuk ke daerah Tanah Datar pada 1347 dan memerintah di sana sampai 1375. Secara geografis daerah itu dekat dengan jalan air yang lain, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri.

Gusti Asnan, guru besar sejarah Universitas Andalas, Padang menegaskan bahwa sungai adalah faktor sejarah di Sumatera. Di masa lalu sungai merupakan jalan raya tempat sebagian besar warga Sumatera berlalu lintas dan mendistribusikan barang. Ini yang membuat permukiman, termasuk tempat peribadatan, kerap terkonsentrasi di sepanjang aliran sungai.


Penulis: Risa Herdahita Putri | historia.id