Jejak Kanibal di Huta Siallagan

Kampung Huta Siallagan. Foto: Pesona Indonesia

Mengunjungi Danau Toba Sumatera Utara, jangan lupa menyempatkan waktu untuk menyeberang ke Pulau Samosir, mendatangi Huta Siallagan yang masih kental dengan budaya Batak. 

Di desa ini kita akan disambut keramahan masyarakat lokal dan sebuah patung bertuliskan aksara Batak sebagai tanda selamat datang di Huta Siallagan.

Pintu masuk Kampung Huta Siallagan

Memasuki Huta Siallagan kita akan disambut dengan deretan rumah bolon, atau rumah adat Batak. Ada sekitar 8 unit rumah bolon berumur ratusan tahun yang memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang digunakan sebagai rumah raja dan keluarga, ada juga sebagai tempat pemasungan.

Sementara jika diperhatikan, bagian depan rumah terdapat beberapa ornamen khas, yaitu jaga dompak (topeng dengan ekspresi menakutkan), singa-singa (patung kepala singa), patung cecak, dan lambang payudara.

Baca juga: Jejak Peradaban di Sungai Batanghari

Keberadaan ornamen tersebut bukan hanya untuk memperindah rumah, tetapi memiliki makna tersendiri. Seperti Jaga dompak dan singa-singa berfungsi untuk menangkal roh jahat. Sedangkan cicak yang disebut boraspati merupakan hewan yang bisa hidup di mana-mana, baik itu di rumah mewah dan di rumah sederhana. Sementara Lambang payudara melambangkan simbol kekayaan dan orang dermawan yang harus bisa membantu orang lain. Lambang Payudara bisa juga diartikan sejauh mana pun orang Batak merantau, jangan lupa orangtua dan jangan lupakan kampung halaman.


Usai melewati deretan rumah adat, pengunjung akan melihat kursi-kursi dari batu yang membentuk lingkaran. Kursi tersebut akan diduduki oleh raja, tetua kampung, dukun, penasihat, panglima atau hulubalang, dan orang yang bersalah. Di kursi inilah musyawarah dilakukan dan hukuman ditentukan.

Batu persidangan. Tempat eksekusi penjahat di Huta Siallagan

Bagi yang terbukti bersalah, akan dipenjara di kolong rumah raja dengan kaki dipasung. Pemasungan ini dilakukan sambil menunggu dukun menentukan tanggal eksekusi.

Tanggal tersebut akan ditentukan dari hari paling lemah si penjahat. Pasalnya, rata-rata orang yang berani melakukan kejahatan diyakini punya ilmu hitam. Setiap proses hukum biasa disaksikan oleh masyarakat. Hal ini juga dilakukan agar orang-orang takut berbuat jahat.

Hukum pancung dibuat sedemikian dramatis. Pertama, penjahat akan diberi makan yang berisi ramuan dukun untuk melemahkan ilmu hitam, kemudian dipukul menggunakan tongkat tunggal panaluan, yaitu tongkat magis dari kayu berukir gambar kepala manusia dan binatang, dengan bagian atas berupa rambut panjang.

Saat dieksekusi, pakaian penjahat dilepaskan untuk memastikan tidak ada jimat yang masih tersisa. Setelah itu, seluruh bagian tubuh akan disayat-sayat. Jika sudah terluka dan berdarah, bisa dipastikan ilmu hitam yang biasanya membuat orang kebal, telah hilang.

Baca juga: Lukisan Tertua di Dunia Ditemukan di Indonesia

Jika tubuh telah mengeluarkan darah, akan dikucuri dengan jeruk nipis sampai si penjahat semakin lemah. Setelah itu, baru hukum pancung dilakukan.

Kepala dan tubuh si penjahat dibuang jauh-jauh. Bagian tubuh yang diambil hanya hati, jantung, dan darah untuk dimakan raja beserta panglima. Alasan mengapa raja makan itu adalah agar ilmu hitamnya semakin kuat dan menambah kekebalan.

Seluruh kisah penghukuman sadis tersebut akhirnya berakhir pada abad ke-19, saat agama Kristen mulai diperkenalkan oleh misionaris asal Jerman, yaitu Ludwig Ingwer Nommensen.

Kini, hukum pancung dan kisah kanibal tersebut tentu sudah tak berlaku, meski ceritanya masih tersimpan rapi di Huta Siallagan. Pada bagian paling belakang Huta Siallagan kini terdapat beberapa kios suvenir yang menjual berbagai benda pernak-pernik yang cocok dijadikan sebagai oleh-oleh seperti baju, kain ulos, gantungan kunci, dan berbagai benda-benda lainnya. 

Bila ingin merasakan suasana perkampungan Batak zaman dahulu, sobat triper bisa datang ke sini.


Penulis: Sandi Prayogo