Mengupas Fenomena 'Surya Pethak'

Langit yang memutih. Foto: Sindo

Salah satu ramalan Sabdo Palon Noyo Genggong menyebutkan 'surya pethak' atau langit memutih merupakan salah satu tanda pralaya atau pergantian zaman.

Namun, dari sisi astronomis, fenomena 'surya pethak' atau langit memutih itu adalah hal yang wajar.

Baca juga: Fenomena Bediding Melanda di Beberapa Daerah

Dikutip dari detikNews, Selasa (3/8/2021), Peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Andi Pangerang, menerangkan, secara harfiah, 'surya pethak' bermakna matahari (tampak) memutih.

Hal tersebut terjadi karena sinar matahari tak begitu terik atau dapat dimaknai siang hari yang temaram seperti malam. 

"Sinar matahari yang biasa kemerahan saat terbit dan akan memutih ketika terbenam. Sedangkan ketika matahari meninggi, sinarnya tidak terlalu terik akibat terhalang oleh semacam kabut awan," terang Andi.

Baca juga: Penjelasan LAPAN Terkait Video Penampakan Matahari Terbit di Utara

Dikatakannya pula, fenomena 'surya pethak' ini dapat berlangsung selama 7 hingga 40 hari. Efek dari 'surya pethak' akan membuat suhu permukaan Bumi menjadi lebih dingin.

Jika dikaitkan antara aktivitas matahari dengan fenomena 'surya pethak', kata Andi, ada kemungkinan kabut awan yang menghalangi sinar matahari melalui atmosfer bumi terjadi ditimbulkan oleh letusan gunung berapi atau perubahan sirkulasi air laut yang dapat meningkatkan penguapan uap air.

"Kecil kemungkinan kabut awan yang menyelimuti permukaan bumi ditimbulkan oleh penurunan aktivitas matahari berkepanjangan, seperti yang pernah terjadi pada tahun 1645 hingga 1715," kata Andi.

Masih kata Andi, fenomena ini dapat dimungkinkan terjadi oleh letusan gunung berapi dan perubahan sirkulasi air laut yang hingga saat ini masih sulit diprediksi oleh para ilmuwan vulkanologi dan oseanografi.


Sumber: detikNews