Roti Berbiang Air Kencing

Cara Tawanan Jepang Bertahan Hidup

Nio Joe Lan. Foto: id.wikipedia.org

Nio Joe Lan menuliskan “Dalem kamp ada banjak andjing bergelandangan. Lantaran sanget lapar, andjing ada jang potong. Saja poen perna liat orang panggang tikoes.”

Nio merupakan seorang jurnalis. Karirnya bermula di majalah Penghiboer, berlanjut di surat kabar Keng Po dan harian Sin Po. Dia juga gemar menulis mengenai kebudayaan masyarakat Tionghoa. 

Karya tulis Nio pun banyak menginspirasi peneliti budaya Tionghoa di Indonesia dan negara lain. 

Ketika usianya 38 tahun, Nio bersama orang-orang Tionghoa dari beberapa kota di Jawa menjadi tawanan Jepang.

Baca juga: Audun Amundsen, Tinggalkan Kehidupan Modern (part 1)

Ketika riwayat pengusaan Hindia Belanda di Indonesia baru berakhir, semua warga Belanda atau keturunannya dikumpulkan dalam kamp-kamp tawanan Jepang. Sedangkan pada warga Tionghoa, Negara berjulukan Matahari Terbit ini melakukan tindakan keras terhadap mereka yang dianggap pro-Chungking dan anti-Jepang. 

Keadaan di kamp tawanan perang Jepang. (Notif.id)

Di dalam tawanan itu termasuk para opsir Cina, hanya pemuka warga pecinan, dan jurnalis yang nampaknya tak pernah terbukti anti-Jepang.

Awalnya warga Tionghoa ditawan di Boekit-Doeri, lalu pindah ke Serang. Kemudian dipindahkan lagi ke Cimahi, hingga akhir Agustus 1945.

Kamp tawanan Jepang di Cimahi dihuni sekitar 10.000 orang, sebagian besar orang kulit putih. Sedangkan penghuni Tionghoa hanya sekitar lima persen.

Awalnya, mereka (tawanan Jepang) serba kecukupan soal makanan. Namun, saat Jepang mulai terdesak, makanan menjadi persoalan serius. Roti yang biasanya bisa mereka beli pun, waktu itu tak bisa mereka nikmati lagi. 

Pembagian roti dalam kamp pun mulai menjarang. Jika sebelumnya ketersediaan roti cukup mengenyangkan bagi tawanan, akhirnya diganti jagung, kedelai, singkong atau ubi.

Tiga tawanan perang asal Australia sedang memasak nasi goreng di atas arang membara. (Lieutenant R. J. Buchanan/Australian War Memorial)

Nio berkisah, Mengatasi minimnya jumlah roti, Jepang mengijinkan tawanan untuk memproduksi roti. Kebetulan di tangsi militer Cimahi yang saat itu menjadi kamp tawanan, pernah ada pabrik roti. Kaleng-kaleng cetakan roti yang terlanjur menjadi gayung WC atau gayung kamar mandi tawanan, akhirnya dikembalikan.

“Pertjobaan dibikin dan berhasil, biarpoen roti pertama lebih mirip batoe bata daripada roti," tulis Nio.

Nio juga bercerita, pembuatan roti untuk para tawanan tidak lagi tergantung pasokan biang atau ragi dari Jepang. Mereka menggantinya dengan biang dari air kencing.

Caranya! air kencing para tawanan ditampung dalam beberapa drum kemudian diolah menjadi biang roti. 

Cara unik sekaligus memilukan para tawanan untuk bertahan hidup ini banyak diabadikan dalam coretan lukisan karya orang-orang Belanda yang menjadi tawanan di Cimahi.

Ereveld Leuwigajah di Cimahi, permakaman bagi warga sipil dan militer yang umumnya tewas di dalam kamp tawanan Jepang. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

“Djoemblah jang perloe dari aer kentjing laloe dikoempoelken dan diangkoet ka satoe pendirian baroe, jang dinamaken Gistbedrijf [Peroesahaan Biang],” ungkap Nio. 

Tanpa biang, adonan roti tidak akan mengembang dan empuk. Bahkan dari biang air kencing milik para tawanan ini dihasilkan pula minuman bernutrisi, berwujud serbuk halus, untuk tawanan yang sakit.

Mereka berhasil memproduksi roti kadet untuk 10.000 tawanan. Setiap orang mendapatkan roti dengan berat sekitar 110-150 gram.

Konon, produksi roti itu bisa berjalan asalkan tersedia gandum, minyak, kayu bakar dan air kencing.

Baca juga: Audun Amundsen, Tinggalkan Kehidupan Modern (part 2)

Kisah pengalaman hidup sebagai tawanan Jepang itu ditulis sangat teliti oleh Nio. Kisah tentang kehidupan di dalam kamp tersebut merupakan warisan langka, tidak banyak orang yang menulis. 

Catatan hariannya diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Dalem Tawanan Djepang (Boekit Doeri-Serang-Tjimahi): Penoetoeran Pengidoepan Interneeran Pada Djeman Pendoedoekan Djepang. 

Buku itu pertama kali diterbitkan oleh Lotus Company pada1946 dan diterbitkan ulang sekitar 62 tahun kemudian, oleh Komunitas Bambu. 

Pada akhir kisah, Nio menuliskan, para tawanan menandai produksi roti berbiang air kencing yang ke-1.000.000 dengan menyisipkan selembar bon bertuliskan “Sebagai tanda-peringetan!”


Sumber: Nationalgeographic.co.id