Mengenal Akar Bahar, Hewan Laut yang Sering Dianggap Tumbuhan

Akar Bahar. Foto: google image

Nama akar bahar tidak terlalu asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Akar bahar sering dijadikan aksesoris dan dianggap memiliki banyak manfaat bagi sebagian masyarakat Indonesia, seperti penangkal penyakit. Secara umum, akar bahar sering dijadikan sebagai gelang dan diperjualbelikan.

Kendati telah dikenal masyarakat, namun masih banyak yang menyangka akar bahar merupakan tumbuhan laut. Padahal, akar bahar merupakan hewan yang hidup di antara terumbu karang.

Akar bahar adalah hewan yang digolongkan sebagai binatang berongga. Dalam Bahasa Inggris dinamakan “The Black Corals” atau “The Thorny Corals”.

Salah satu ciri yang menandakannya sebagai hewan, yakni memiliki tangan atau tentakel dan saluran pencernaan. Selain itu, dapat melakukan perkembangbiakan dengan melakukan semacam perkawinan.

Akar bahar juga merupakan hewan yang tidak memiliki sistem pembuangan sisa pencernaan, pernapasan, dan peredaran darah.

Dikutip dari Mongabay, Nurul Huda dalam bukunya “Laut dan Bahan Makanan Kita (2014)”, menyebutkan bahwa nama ilmiah akar bahar adalah Anthiphates. Hewan ini merupakan jenis yang hidup di perairan laut, terutama perairan yang memiliki terumbu karang.

“Hewan akar bahar memiliki beberapa keistimewaan yaitu tidak memiliki sistem pembuangan sisa pencernaan seperti halnya hewan lain yang memiliki anus. Keistimewaan lain, tidak memiliki sistim pernapasan dan peredaran darah,” ungkap Huda.

Akar bahar memerlukan kondisi perairan yang subur dan baik untuk perkembangan hidupnya. Artinya, kondisi perairan sangat menentukan kelangsungan hidupnya. Jika perairan laut tercemar, kesuburannya juga terganggu.

Oleh sebab itu, untuk menjaga populasi akar bahar, Pemerintah melindunginya dengan UU No 21 Tahun 2019 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, UU No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dalam UU No 45 Tahun 2009, UU No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta PP No 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dengan ancaman pidana paling lama 5 [lima] tahun penjara dan denda paling banyak Rp100 juta.

Sumber: Mongabay