Sejarah Penemuan Pulau Bui Nusakambangan

Nusa Kambangan. Foto: google image

Sejarah penemuan Pulau Bui Nusakambangan, bermula pada abad ke-16 ketika puluhan kapal VOC yang tersesat saat melewati Samudera Hindia, terdampar di teluk Dick de Vries pantai barat Pangandaran. 

Berawal dari ketersesatan pada 1739, VOC memerintahkan Paulus Paulusz untuk melakukan survei lokasi sekitar lantas mengitari Segara Anakan, Teluk Penyu dan Nusakambangan. 

Hasil survei, Paulusz berkesimpulan, wilayah tersebut dianggap cocok dijadikan pelabuhan di bagian Pantai Selatan Jawa.


Dalam buku "Nusakambangan: dari Pulau Bui ke Pulau Wisata", Unggul Wibowo menulis Benteng Karang Bolong merupakan sistem pertahanan Nusakambangan yang pertama kali dibangun VOC tahun 1836 bagian suksesi pembangunan pelabuhan. Benteng itu difungsikan untuk memantau kedatangan para bajak laut.

Baca juga: Mengintip Ritual 'Aneh' Gunung Kemukus

Dalam catatan Kapten Godfrey Philip Baker (1786-1850) dari battalion ke-7 Infanteri Ringan Benggala yang menulis “Memoir of a survey of the prince’s dominions of Java”, dijelaskan bahwa para bajak laut Bali, Bugis dan Timor membuang sauh di tempat yang terlindung oleh Nusakambangan dan mendayung perahu masuk ke arah hulu lewat kuala dan kali kecil untuk menculik orang dan merampas bahan pangan. Dampaknya 9 desa sekitar pasar utama Jeruk Legi tak berpenghuni dan sejak saat itu dua sersan asal Hongaria ditempatkan di Nusakambangaan untuk memberi peringatan dini akan datangnya serangan (lihat Peter Carey dalam Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid I (2011). h 24-25). Tetapi momok sesungguhnya justru bukan kawanan perompak, melainkan wabah malaria.

Benteng Karangbolong di Nusakambangan.
Foto: Merdeka.com

Diceritakan Unggul, ketika sistem pengamanan tak lagi bisa mengandalkan Benteng Karang Bolong dan Benteng Banyu Njappa, maka atas perintah Mayor von Gagern dibangun benteng di ujung Semenanjung Cilacap yang kini dikenal sebagai Benteng Pendem. 

Tahun 1850, momok malaria menyerang 80 persen penduduk yang terlibat pembangunan benteng itu. Tenaga buruh lalu diputuskan menggunakan narapidana, sehingga di sekitar benteng Karang Bolong lantas dibangun penjara dari bambu dengan kapasitas 300 napi.


Lagi-lagi wabah malaria menyerang di tahun 1862, pembuatan benteng tersendat-sendat. Demi alasan keamanan, pulau Nusakambangan ditutup untuk penduduk sipil. Baru pada tahun 1869 bagian selatan benteng tuntas diselesaikan dengan tenaga para narapidana. Dari kejadian inilah, cikal bakal Nusakambangan sebagai Pulau Bui pun mulai terbentuk.

Tahun 1908 Nusakambangan lalu ditetapkan sebagai Poelaoe Boei atau bijzondestraf gevangenis dibawah pengawasan dan pemilikan Raad van Justitie atau Departemen Kehakiman. Setelah penetapan itu, di sebelah bagian selatan Nusakmbangan mulai dibangun Penjara Permisan dengan daya tampung 700 orang yang mulai dipergunakan tahun 1910. Para napi yang ada di Nusakambangan ini, sejak 1908 mulai dilibatkan dalam pembukaan hutan untuk dijadikan perkebunan karet. 

Akibat perluasan perkebunan karet, jumlah napi yang dikirim ke Nusakambangan semakin melonjak. Tahun 1912 dibangun dua penjara sekaligus yakni Penjara Karang Anyar dan Penjara Nirbaya yang masing-masing berdaya tampung 750 orang. Lalu dibangun lagi Penjara Batu pada 1924, dan selang 3 sampai 4 tahun secara beriringan dibangun tiga penjara yakni Besi pada tahun 1927 dilanjut Penjara Gliger dan Penjara Karang Tengah pada 1928. Penjara terakhir yang dibangun di masa kolonialisme Hindia Belanda yakni Limus Buntu pada 1935.

Baca juga: Legenda Mistis Gunung Ciremai

Pasca kemerdekaan, fungsi pulau tersebut tidak banyak mengalami perubahan. Bahkan, pemerintah Indonesia menjadikan pulau tersebut sebagai rumah tahanan bagi narapidana kelas berat dengan keamanan ekstra ketat. 

Lembah Nirbaya, tempat eksekusi terpidana hukuman mati

Kini hanya ada empat Lapas yang difungsikan, yaitu Lapas Batu yang dibangun pada Tahun 1925. Lapas Besi dibangun Tahun 1929. Lapas Kembang Kuning didirikan Tahun 1950 dan Lapas Permisan yang tertua, dibangun 1908. Lima lainnya, yaitu Nirbaya, Karang Tengah, Limus Buntu, Karang Anyar, dan Gliger, telah ditutup.


Khusus Nirbaya, meski tidak ada lagi lapas di sana, namun hingga kini namanya sangat ditakuti oleh warga sekitar maupun narapidana. Pasalnya, lembah Nirbaya merupakan tempat eksekusi hukuman mati dilaksanakan dan meninggalkan kisah mistis.


Artikel disusun dan dirangkum dari berbagai sumber