Telusuri Kearifan Lokal Kampung Adat Cireundeu

Gerbang Kampung Adat Cireundeu



Kampung Cirendeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan dihuni oleh sekitar 367 kepala keluarga atau kurang lebih 1.200 jiwa yang terdiri dari 550 orang perempuan dan 650 orang laki-laki. Masyarakat kampung Cireundeu sangat terbuka dengan masyarakat luar, kendati sebagian besar masyarakat kampung Cireundeu tidak suka merantau atau berpisah dengan orang-orang sekerabat.
Pola pemukiman di kampung Cireunde memiliki keunikan tersendiri yakni pintu samping rumah warga harus menghadap ke arah timur agar cahaya matahari yang menyinari bumi bisa masuk ke sendi-sendi kehidupan. Semangat gotong royong Kampung Adat Cireundeu yang sebagian besar bermata pencaharian bertani ketela, juga sangat kental. 
Sebagian besar penduduknya memeluk dan memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan dan tetap konsisten dalam menjalankan ajaran kepercayaan serta terus melestarikan budaya dan adat istiadat yang telah turun-temurun dari nenek moyang mereka.


Masyarakat Adat Cireundeu memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikutinya. 
Konsep kampung adat yang tetap terjaga sejak zaman dulu, yakni daerah itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.
Hutan Larangan



Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.
Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkon atau ketela, dan umbi-umbian.
Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat.”
(Tidak Punya Sawah Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Dapat Menanak Nasi, Tidak Punya Nasi Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat).
Empat kalimat tersebut seolah merangkum sejarah konsumsi rasi alias beras singkong di Desa Cireundeu. Hal tersebut berkaitan pula dengan tradisi nenek moyang mereka yang kerap berpuasa mengonsumsi beras selama waktu tertentu.
Tujuan puasa tersebut adalah mendapat kemerdekaan lahir batin. Ritual yang juga sekaligus menguji keimanan seseorang dan pengingat akan kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.
Pengolahan singkong menjadi rasi telah dilakukan masyarakat Kampung Adat Cireundeu selama hampir 100 tahun ini membuat daerah ini mandiri soal pangan.


Oh ya.. Begitu sobat triper sampai di gerbang masuk Kampung Adat Cireundeu akan menemukan monumen Meriam Sapu Jagat. Simbol Satria Pengawal Bumi Parahyangan ini juga dilengkapi tugu mungil bertuliskan Wangsit Siliwangi, yaitu jujur, ksatria, membela rakyat kecil, sayang pada sesama, dan menjadi wibawa.
Lalu sekitar 200 meter dari gerbang, sobat tripet akan menemukan Saung Baraya Mang Ali. Di sini sobat triper akan melihat gerbang lain yang mengarah ke Bale Saresehan.
Bale-bale ini biasa digunakan warga sekitar sebagai tempat pertemuan dan pagelaran seni. Bangunan dengan material bambu dan kayu ini memiliki luas sekitar 200 meter persegi dan sanggup menampung hingga maksimal 100 orang.
Bale Saresehan. Foto: Lutfi Dananjaya/Travelingyuk



Setiap bulan Sura, bale-bale ini bakal digunakan untuk menggelar pertunjukan wayang golek. Tradisi ini merupakan bentuk syukur pada Sang Maha Pencipta, atas semua kenikmatan yang sudah diterima.

Kontributor: Agus Ramdhani